HMI Menjawab: Saat Guru Bertahan, Negara Harus Berbenah

Senin, 15 September 2025 | 20:00:11 WIB

Oleh: Dimas Saputra

Peserta Advance Training HMI BADKO Sumatera Barat

Pendidikan Indonesia tidak pernah benar-benar berhenti. Bukan karena regulasi yang kokoh atau program menteri yang gemilang, melainkan karena para guru memilih untuk bertahan. Mereka tetap hadir di ruang kelas meski beban administrasi mencekik. Mereka terus mengajar meski gaji tak sebanding dengan pengorbanan.

Namun, sampai kapan pengorbanan guru menjadi tumpuan utama jalannya pendidikan? Sampai kapan negara membiarkan guru menjadi benteng terakhir tanpa dukungan yang memadai? Pertanyaan ini menjadi ironi yang menampar kesadaran kita: saat guru bertahan, negara seharusnya berbenah.

Guru kerap disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” karena perannya membentuk generasi penerus bangsa tak bisa diukur dengan materi semata. Dosen pun memiliki posisi strategis sebagai intelektual penggerak yang bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga melahirkan penelitian, gagasan, dan inovasi. Guru adalah fondasi pembentuk karakter, sementara dosen menjadi pilar pengetahuan bangsa.

Namun faktanya, banyak di antara mereka masih harus memikirkan cicilan, biaya hidup, hingga mencari pekerjaan sampingan demi bertahan. Ironisnya, kita menuntut kinerja maksimal dari aset paling berharga ini tanpa memberi dukungan yang layak.

Reformasi Kebijakan Guru Mendesak

Pemerintah harus menempatkan kesejahteraan guru sebagai prioritas, bukan sekadar retorika. Beban administrasi perlu dikurangi agar guru bisa kembali fokus mendidik, bukan hanya mengisi laporan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga perlu aktif mengawal agenda reformasi pendidikan agar tidak berhenti di meja birokrasi.

Seorang praktisi pernah mengingatkan: “Memerdekakan guru dan dosen adalah langkah awal memerdekakan generasi mendatang dari keterbelakangan. Jika kita gagal memberi penghargaan yang layak bagi mereka, mimpi Indonesia Emas akan tinggal slogan yang terdengar nyaring, tapi tak pernah hidup di ruang kelas.”

Bahkan, slogan itu bisa berubah menjadi Indonesia Cemas, sebab realita di lapangan jauh dari harapan. (*)

Halaman :

Terkini