FOMO: Kecemasan Digital yang Merenggut Ketenangan Jiwa

Jumat, 25 Juli 2025 | 22:05:49 WIB
Andri Saputra Lubis, M.Psi

Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi

DI ERA digital yang serba instan, manusia semakin terjebak dalam ilusi koneksi. Deretan notifikasi media sosial tak pernah berhenti berdenting, menampilkan potongan hidup orang lain yang tampak lebih indah, lebih gemilang, dan seolah-olah sempurna. Dari unggahan perjalanan liburan mewah, pencapaian karier yang mengesankan, kehidupan keluarga yang sangat ideal, hingga tren gaya hidup terbaru, semua itu menimbulkan rasa gelisah yang makin sering kita dengar: FOMO (Fear of Missing Out), yaitu ketakutan akan ketinggalan (sesuatu), yang mengakibatkan kecemasan karena merasa tertinggal dari apa yang dianggap penting oleh lingkungan sosial.

FOMO bukan sekadar rasa penasaran untuk tahu kabar terbaru. Ia adalah kegelisahan mendalam yang membuat seseorang sulit menikmati hidupnya sendiri. Pikiran terus dipenuhi bayangan tentang apa yang sedang dilakukan orang lain, membandingkan keadaan diri dengan apa yang tidak dimiliki. Dalam pandangan psikologi kontemporer, FOMO dipicu oleh social comparison theory, teori yang menjelaskan kecenderungan manusia mengukur kebahagiaannya dengan standar yang ditampilkan orang lain. 

Ketika feed media sosial penuh dengan potret kehidupan ideal, otak mengirimkan sinyal bahwa diri ini tertinggal. Akhirnya, muncullah kecemasan sosial, stres, rasa rendah diri, bahkan depresi. Tak jarang, FOMO memicu perilaku impulsif, membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, ikut tren tanpa alasan rasional, hanya agar terlihat tidak ketinggalan mode terbaru, dan agar dianggap relevan di mata orang lain.

Dalam psikologi modern, pembahasan FOMO umumnya hanya terfokus pada ranah pikiran dan emosi. Fenomena ini dijelaskan sebagai dampak dari kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain (social comparison) yang memicu distorsi persepsi diri hingga menimbulkan rasa cemas, iri, minder, bahkan depresi. 

Dalam perspektif ini, FOMO dianggap sekadar ketidakmampuan mengelola pola pikir dan perasaan, sehingga penyelesaian yang ditawarkan lebih bersifat praktis, seperti mengurangi waktu penggunaan media sosial, melakukan digital detox, atau menjalani terapi kognitif-perilaku untuk memperbaiki cara pandang.

 Namun, psikologi Islam memandang FOMO lebih dari sekadar gangguan psikis, melainkan sebagai gejala penyakit spiritual yang merampas ketenteraman hati. Fenomena ini mencerminkan jiwa yang masih dikendalikan nafsu ammarah, dorongan ego yang haus pengakuan, kesenangan, dan validasi sosial, tetapi tak pernah merasa puas. Jiwa pada tahap ini mudah goyah oleh hal-hal duniawi karena standar kebahagiaannya hanya bersandar pada penilaian manusia, bukan pada keridhaan Allah.

Hati yang hilang sifat qana’ah, yakni rasa cukup dan ridha terhadap ketentuan Allah, akan terus merasa gelisah. Ia selalu merasa kurang, padahal ketidakpuasan itu muncul karena tidak mampu mensyukuri nikmat yang sudah ada. Maka dalam pandangan Islam, FOMO merupakan tanda qalbun maridh, hati yang sakit, kehilangan ketenangan, dan tersesat arah tujuan.

Selain itu, FOMO juga berkaitan erat dengan sifat riya’, keinginan untuk dipuji dan diperhatikan. Serta hasad, yaitu iri hati saat melihat kelebihan orang lain. Seseorang yang terjebak FOMO seringkali mengikuti tren atau memamerkan sesuatu bukan karena kebutuhan nyata, tetapi demi menjaga citra agar dianggap relevan. 

Ketika hidup diukur hanya dengan pandangan manusia, nilai diri akhirnya bergantung pada hal yang fana: jumlah likes, followers, dan status sosial. Padahal Islam menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada apa yang tampak, melainkan pada ketakwaannya.

Karena itu, dalam psikologi Islam, FOMO bukan hanya kecemasan sosial, melainkan kegelisahan jiwa yang kehilangan orientasi kepada Allah. Ia lahir dari lemahnya iman, dominasi hawa nafsu, dan kurangnya kesadaran bahwa kehidupan dunia bersifat sementara. 

Solusi sejatinya tidak cukup berhenti pada teknik psikologis semata, tetapi harus menyentuh akar spiritual melalui tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), memperbanyak dzikir, menanamkan rasa syukur, dan menguatkan kesadaran bahwa nilai sejati diukur oleh Allah, bukan oleh pandangan manusia.

Di dunia maya, Apa yang kita lihat hanyalah potongan terbaik hidup orang lain, momen bahagia yang dipoles, pencapaian yang dikurasi. Sisi rapuh dan kesulitan mereka jarang terlihat. Sayangnya, banyak orang menganggap itu sebagai gambaran utuh. FOMO pun berkembang, membuat hati tidak lagi tenteram, pikiran sibuk mengejar yang fana, dan jiwa kehilangan kedamaian. Dalam bahasa tasawuf, kondisi ini disebut qalbun maridh, hati yang sakit karena keterikatan berlebihan pada dunia.

Bagaimana mengatasinya? Psikologi modern menyarankan mindfulness, pengaturan waktu penggunaan media sosial, hingga terapi kognitif untuk mengurangi dorongan membandingkan diri. Metode tersebut akan mengatasi permasalahan di permukaan. 

Selanjutnya, psikologi Islam memberi akar solusi yang lebih dalam: kembalikan hati kepada Allah, bukan pada validasi orang lain. Konsep qana’ah menanamkan rasa cukup, syukur melatih fokus pada nikmat yang ada, dan muraqabah mengingatkan bahwa nilai sejati seseorang diukur oleh Allah, bukan jumlah likes atau followers.

Pendekatan integratif adalah kunci. Batasi paparan media sosial agar tidak terjebak ilusi digital, latih kesadaran diri supaya lebih jernih menilai realitas, dan perkuat dimensi spiritual melalui dzikir, tafakkur, serta syukur. Selain itu, bangunlah relasi nyata yang tulus, bukan sekadar hubungan permukaan di dunia maya.

FOMO sejatinya hanyalah cerminan budaya zaman yang menipu. Media sosial sering kali bukan cerminan realitas, melainkan panggung citra. Ketenangan sejati tidak datang dari mengejar tren, tetapi dari hati yang merasa cukup dan yakin pada ketetapan Allah. Jadi, ketika muncul rasa gelisah karena merasa tertinggal, berhentilah sejenak dan tanyakan pada diri: Apakah yang saya kejar benar-benar bernilai, atau hanya bayangan semu yang melelahkan hati?

Pada akhirnya, ukuran kebahagiaan bukanlah seberapa sering kita larut dalam hiruk-pikuk dunia digital, atau seberapa luas koneksi yang kita miliki di jagat maya. Semua itu hanya bersifat sementara dan kerap menipu pandangan hati. Kebahagiaan yang sejati justru hadir saat jiwa mendekat kepada Allah, Sang Penghubung Segala, yang mengatur seluruh kehidupan. 

Hubungan dengan sesama bisa terputus, tren akan silih berganti, dan dunia perlahan memudar, namun kedekatan dengan-Nya tak pernah berakhir dan selalu membawa ketenangan. Karena itu, daripada menghabiskan energi mengejar pengakuan yang fana, lebih utama bagi kita menata hati dan jiwa agar senantiasa terikat pada-Nya. Karena dengan mengingat Allah, hati akan menemukan kedamaian yang tak lekang oleh waktu.

_____________

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.

Terkini