Ternyata Pusuk Buhit Bukan Milik Orang Batak

Ternyata Pusuk Buhit Bukan Milik Orang Batak

MEDAN – Wacana tentang kepemilikan simbol-simbol budaya kembali diperbincangkan secara kritis dalam sebuah diskusi publik bertajuk "Identitas dan Sakralitas dalam Bayang-Bayang Kapitalisme Budaya", yang diselenggarakan komunitas BASIS di Medan, Sabtu (10/5). Salah satu pemikiran yang mencuri perhatian datang dari Shohibul Anshor Siregar, akademisi dan aktivis budaya yang juga menjabat sebagai Koordinator Umum nBASIS.

Dalam pemaparannya, Shohibul menyoroti narasi umum yang menyatakan bahwa Pusuk Buhit adalah milik orang Batak. Ia mengajak masyarakat untuk merefleksikan kembali hubungan spiritual dan kultural dengan gunung yang dianggap sakral tersebut.

“Sudah waktunya kita berhenti mengklaim Pusuk Buhit sebagai milik kita. Sebaliknya, kita harus sadar bahwa justru kita yang dimiliki olehnya,” ujarnya tegas.

Pusuk Buhit yang terletak di Kabupaten Samosir, selama ini diyakini sebagai tempat turunnya Si Raja Batak. Namun, menurut Shohibul, narasi tersebut seharusnya tidak dijadikan dasar untuk mengukuhkan rasa kepemilikan atas tempat sakral. Ia mengingatkan bahwa dalam mitologi Batak, tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa Si Raja Batak menciptakan Pusuk Buhit.

“Gunung itu lebih dulu ada, lebih luhur secara kosmologis. Si Raja Batak datang dan menjadi bagian dari kehendak tempat tersebut. Kita hanya pengunjung yang diterima,” jelasnya.

Shohibul memperingatkan bahwa semangat eksklusivitas dalam mengklaim Pusuk Buhit justru membuka jalan bagi komersialisasi, pariwisata massal, dan eksploitasi ruang sakral. Ia menyebut rencana pengembangan kawasan tersebut sebagai destinasi geopark dan wisata spiritual sebagai contoh bagaimana warisan budaya bisa direduksi menjadi komoditas, tanpa pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai adat.

“Ketika tanah dianggap sebagai milik, ia bisa dijual atau diubah fungsinya. Tapi jika kita merasa dimiliki oleh tanah, maka akan tumbuh rasa hormat dan tanggung jawab,” tambahnya.

Lebih jauh, Shohibul mengkritik peran negara dan korporasi yang menurutnya seringkali mendominasi pengelolaan kawasan adat tanpa keterlibatan mendalam masyarakat lokal. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berakar pada kosmologi dan spiritualitas rakyat, bukan semata-mata logika hukum dan ekonomi.

Sebagai penutup, ia menyerukan agar masyarakat Batak kembali pada nilai-nilai kearifan leluhur. “Jika kita mengaku berasal dari Pusuk Buhit, maka kewajiban kita adalah menjaga dan menghormatinya. Jika kita gagal, maka kita telah menolak akar kita sendiri,” tegasnya.

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari tokoh adat, akademisi, mahasiswa, hingga pegiat budaya dan lingkungan dari penjuru Sumatera Utara. Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda reflektif rutin nBASIS dalam memperkuat kesadaran kritis atas isu-isu kebudayaan dan keberlanjutan.

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index