Kolom

Nafsu Syahwaniyyah : Pergulatan Jiwa Dalam Dorongan Syahwat

Nafsu Syahwaniyyah : Pergulatan Jiwa Dalam Dorongan Syahwat
Andri Saputra Lubis, M.Psi

Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi

DALAM kehidupan digital yang serba cepat dan terbuka, manusia kini dikelilingi oleh berbagai rangsangan yang membanjiri indera setiap saat. Lewat layar kecil di tangan, berbagai konten visual dan audio dengan muatan sensual hadir tanpa batas, menciptakan suasana yang mendorong timbulnya hasrat. 

Salah satu yang turut memperkuat godaan ini adalah maraknya tren berpakaian wanita yang mengumbar aurat dan terpengaruh gaya hidup kebarat-baratan, yang kerap dipromosikan sebagai simbol kebebasan. Padahal, paparan seperti itu tak hanya memicu gejolak nafsu, tetapi juga mengikis ketahanan spiritual dan melemahkan kontrol diri. 

Dalam kondisi seperti ini, nafsu syahwaniyyah menjadi tantangan serius yang mengancam moralitas serta kejernihan jiwa umat manusia saat ini.

Dorongan syahwat bukan hal yang asing dalam ajaran Islam. Ia adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang melekat dalam diri manusia. Al-Qur’an bahkan secara eksplisit menyebut kecenderungan manusia terhadap kenikmatan duniawi sebagai bagian dari ujian hidup. 

Namun, syahwat yang tidak disetir dengan baik dapat melahirkan berbagai penyimpangan yang merusak keseimbangan batin, memicu perilaku menyimpang, dan menjauhkan manusia dari fitrah kemanusiaannya sendiri.

Dalam pandangan Islam, syahwat bukan untuk dihapus, melainkan dibimbing. Keinginan biologis ini memiliki tempatnya dalam kehidupan yang sah dan bermakna. Akan tetapi, ketika hasrat tersebut melampaui kendali akal dan nilai ruhani, maka ia berubah menjadi kekuatan destruktif. Dalam khazanah tasawuf, nafsu syahwaniyyah dikategorikan sebagai bagian dari nafs ammarah, yakni dorongan jiwa yang mengajak kepada keburukan dan pelanggaran batas ilahi. Para sufi menyebutnya sebagai ujian paling berat dalam penyucian jiwa.

Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa dorongan syahwat merupakan pintu masuk utama menuju berbagai bentuk pelanggaran moral. Ia membutakan nurani, mengacaukan pertimbangan, dan jika tidak ditegakkan kontrol batin, akan menyeret seseorang ke dalam kubangan dosa. Namun demikian, tasawuf tidak menganjurkan pemusnahan syahwat. Para ulama spiritual menempuh jalan yang lebih seimbang: menyucikan hasrat, bukan mematikannya. Mereka mengajarkan kedisiplinan batin, seperti puasa, dzikir, dan penguatan akal sehat untuk menjaga agar syahwat tetap berada dalam koridor yang benar.

Dari sudut pandang psikologi Islam, nafsu syahwaniyyah merupakan bagian dari struktur dasar naluri manusia, yang dikenal sebagai gharaiz. Dalam kondisi sehat, gharaiz membantu manusia menjalani hidup secara proporsional. Namun jika jiwa melemah dan nilai-nilai ruhani terabaikan, maka naluri ini dapat mendominasi kesadaran dan mengarahkan manusia pada perilaku kompulsif. Ketika akal (`aql), hati (qalb), dan jiwa (ruh) tidak berjalan harmonis, maka manusia kehilangan pijakan dalam mengatur dorongan ini.

Dalam kajian psikologi modern, khususnya aliran psikoanalisis, dorongan seksual dipandang sebagai salah satu penggerak utama perilaku manusia. Sigmund Freud memperkenalkan konsep libido sebagai energi naluriyah yang bersumber dari alam bawah sadar dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan psikologis individu. Meski teorinya mengungkap sisi tersembunyi dari kepribadian, pendekatan Freud cenderung mengabaikan dimensi etika dan spiritualitas. 

Dengan menekankan kebebasan dalam pelampiasan hasrat, pendekatan ini berpotensi membuka ruang bagi cara hidup permisif yang kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan dampak sosial dari perilaku seksual yang tidak terkontrol.

Pendekatan Freud ini banyak menuai kritik dalam perspektif Islam, karena menempatkan libido sebagai kekuatan utama yang mendorong perilaku manusia tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan spiritual. Pemikiran Freud menjadikan manusia seolah hanya tunduk pada dorongan naluriyah yang tak terkendali, padahal dalam ajaran Islam, syahwat merupakan bagian dari fitrah yang perlu diarahkan, bukan dibiarkan bebas. Pengendalian syahwat melalui ibadah seperti puasa dan menjaga pandangan justru menjadi sarana penyucian jiwa dan peneguhan ketakwaan. 

Oleh karena itu, Islam tidak menolak keberadaan syahwat, namun mengajarkannya untuk dikendalikan dengan akal sehat dan bimbingan ruhani, sehingga tidak merusak keseimbangan batin dan tatanan sosial.

Sementara, Abraham Maslow dalam pendekatan humanistiknya menyusun hierarki kebutuhan manusia, di mana kebutuhan fisiologis seperti makan, tidur, dan seks menempati posisi paling dasar. Maslow memandang bahwa pemenuhan kebutuhan biologis ini penting sebagai landasan bagi perkembangan psikologis menuju jenjang yang lebih tinggi. Seperti cinta dan kasih sayang, harga diri, dan aktualisasi diri. 

Ia menekankan pentingnya pemenuhan yang sehat dan proporsional, agar psikologis manusia dapat berkembang dengan sempurna.

Meskipun teori kebutuhan Maslow memberikan ruang bagi pertumbuhan manusia secara bertahap, dari aspek biologis hingga aktualisasi diri, Islam justru menempatkan fitrah ketauhidan sebagai kebutuhan paling dasar dalam hidup manusia. Tauhid merupakan inti dari eksistensi dan orientasi hidup, yang tanpanya manusia akan kehilangan arah dan makna sejati. Kebutuhan jasmani seperti makan, tidur, dan dorongan seksual hanya berfungsi dengan baik ketika berada di bawah kendali nilai-nilai ilahiyah. 

Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya pembinaan spiritual agar dorongan biologis tidak mendominasi perilaku, tetapi diarahkan sebagai bagian dari penghambaan kepada Allah. Keselarasan antara tubuh, akal, dan ruh inilah yang menjadi fondasi keseimbangan hidup menurut pandangan Islam.

Fenomena ini menggambarkan krisis eksistensial yang tengah dihadapi manusia modern. Ketika syahwat menjadi pusat orientasi hidup, maka nilai-nilai moral, empati sosial, bahkan keimanan perlahan terkikis. Dalam kondisi ini, Islam menawarkan solusi yang tidak ekstrem namun mendalam: membina dorongan biologis agar tunduk kepada kehendak Ilahi. 

Nabi MuhammadSAW memberi tuntunan dengan menekankan pentingnya pernikahan sebagai kanal halal, serta menganjurkan puasa sebagai pelindung diri bagi mereka yang belum mampu menikah. Puasa bukan hanya menahan lapar, tetapi juga sarana spiritual untuk meredam gelombang syahwat.

Saat dunia semakin banal dan tubuh manusia dijadikan objek komoditas, membangun kesadaran batin untuk mengelola nafsu menjadi tugas yang tak bisa ditunda. Syahwat tidak mesti dipandang sebagai musuh, tetapi harus dijinakkan agar menjadi bagian dari perjalanan spiritual menuju Allah. Menjadi manusia sejati bukan berarti menghilangkan hasrat, melainkan mampu menundukkannya di bawah cahaya iman dan akal.

Pengendalian syahwat bukan sekadar isu moral, tapi inti dari kebebasan batin. Manusia sejati bukanlah mereka yang terbebas dari godaan, tetapi mereka yang sanggup berdiri teguh di tengah godaan itu, dan tetap memilih jalan kebenaran. Di situlah letak keagungan jiwa, di mana syahwat bukan lagi penguasa, melainkan pelayan bagi misi suci untuk kehidupan yang abadi.

_____________

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index