KAMPAR – Ribuan hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau, kini tinggal kenangan. Deforestasi massif dan pembukaan lahan secara ilegal terus merajalela di wilayah Desa Pongkai, Koto Tuo, Batu Bersurat, hingga Minamang. Ironisnya, aktivitas ini seolah-olah mendapat angin, karena hingga kini belum ada tindakan dari aparat penegak hukum.
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan di sekitar Desa Koto Tuo sudah luluh lantak. Tak ada lagi barisan pohon, yang tersisa hanyalah kebun kelapa sawit yang ditanam hingga ke tepi Sungai Osang. Jarak 50 meter dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya dilindungi, sama sekali tidak dipatuhi. Hutan alam di sekitar Sungai Osang lenyap, digantikan sawit. Warga menyebut, ada lahan milik perusahaan bernama PT Lutvindo yang mencaplok lahan sekitar 250–300 hektare.
Jembatan Sungai Osang berdiri sebagai saksi bisu kehancuran hutan. Jembatan ini konon dibuat dari kayu balak yang ditebang dari kawasan tersebut. Sementara itu, truk-truk bermuatan kayu gergajian dengan santainya keluar-masuk dari dalam kawasan, menyusuri jalan tanah rusak dan licin menuju jalan lintas Riau-Sumbar, tepatnya melewati Candi Muara Takus. Kayu-kayu ilegal itu terus mengalir, tanpa hambatan. Ke mana aparat berwenang?
Kepala Desa Koto Tuo, Syaifudin S.Hi, ketika dikonfirmasi, mengaku tidak tahu-menahu soal aktivitas penebangan. Menurutnya, kayu-kayu yang diangkut itu berasal dari luar desanya. Ia juga menyebut mayoritas lahan di desa tersebut tak memiliki surat resmi, baik berupa SKT maupun sertifikat tanah.
Tak hanya di darat, dari atas Jembatan Gulamo di Km 93 jalan lintas Riau–Sumbar, awak media juga melihat kayu log ditarik menggunakan kapal pompong menyusuri perairan waduk PLTA Koto Panjang. Praktik ilegal ini terang-terangan dilakukan di siang hari.
Kawasan hutan negara hancur, masyarakat dibiarkan hidup dalam ketidakpastian, dan hukum seolah mati suri. Di tengah ketiadaan penertiban, warga menjadi saksi sekaligus korban. Mereka diberi ilusi pembangunan, tetapi justru terjebak dalam praktik pembiaran yang berujung pada kerusakan ekologis. (*)