Perjuangan Rakyat Kampar Pertahankan Kemerdekaan: Komisi Tiga Negara Pernah Hadir di Kuok

Perjuangan Rakyat Kampar Pertahankan Kemerdekaan: Komisi Tiga Negara Pernah Hadir di Kuok

BANGKINANG — Peristiwa heroik rakyat Kuok, Kabupaten Kampar, Riau, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi Belanda II pada tahun 1948–1949, meninggalkan catatan penting dalam sejarah bangsa. Bahkan, Komisi Tiga Negara (KTN) yang menjadi penengah dalam konflik Indonesia–Belanda kala itu, pernah menyaksikan langsung perjuangan rakyat di Kuok.

Pada awal Agresi Militer Belanda II, pasukan Belanda melancarkan serangan dari tiga arah: Tanjungpinang melalui udara, dari laut lewat Sungai Siak, serta dari Padang menuju Rantau Berangin dan Pekanbaru. Pada 13 Desember 1948, Belanda membombardir Lapangan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru. Perlawanan sengit dilakukan rakyat Rantau Berangin–Kuok dengan menghanyutkan rakit pelayaran dan menolak ultimatum Belanda agar tunduk.

Pasukan Belanda akhirnya berhasil menduduki Bangkinang pada 18 Februari 1949. Namun di Kuok, perlawanan rakyat dan pasukan gerilya tidak surut. Pada pertengahan Mei 1949, satu truk pasukan Belanda disergap di Singolan, Kuok. Dalam pertempuran itu, sepuluh serdadu Belanda tewas di tempat. Belanda marah besar dan bertekad menaklukkan Kuok, namun informasi rencana itu bocor melalui jaringan mata-mata rakyat. Untuk mencegah pendudukan, rakyat Kuok memilih membumihanguskan pasar Kuok pada pertengahan 1949. Sebanyak 80 rumah, toko, dan los pasar hangus terbakar.

Meski menderita kerugian besar, semangat rakyat tidak surut. Pasukan Harimau Kampar dan Komando Pasukan Gerilya (KPG) terus melakukan perlawanan di bawah pimpinan Mayor Akil bersama tokoh-tokoh seperti Tugimin, Inspektur Muda Polisi Amir Husin, Kapten Langkai, dan H. Silalahi.

Komisi Tiga Negara di Kuok

Pada 17 Agustus 1949, rakyat Kuok tetap menggelar upacara HUT ke-4 RI di Lapangan Sekolah Rakyat No. 1 Pulau Balai Kuok. Pada hari yang sama, rombongan Belanda datang ke pasar Kuok bersama KTN yang terdiri dari Frank Graham (Amerika Serikat), Hakim Critchley (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Mereka bertugas memediasi konflik antara Indonesia dan Belanda.

Dalam perjalanan menuju markas KPG, utusan pemerintah pusat menyatakan rasa haru ketika melihat bendera Merah Putih berkibar gagah di Pulau Balai Kuok. Mereka menegaskan kepada KTN bahwa klaim Belanda soal wilayah Kuok tidak dapat diterima, karena rakyat Indonesia nyata-nyata masih berdaulat di sana.

Perundingan Kuok

Setelah berbagai komunikasi, akhirnya perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda dilaksanakan pada 27 Agustus 1949 di Sekolah Rakyat No. 1 Pulau Balai Kuok. Dari pihak Republik Indonesia hadir Kapten Langkai sebagai juru runding, didampingi Mayor Akil, Kapten Silalahi, Arifin Ruslan, Ghazali Pi, dan Akmal Radhi. Pihak Belanda diwakili Mayor Murad. Perundingan disaksikan langsung oleh KTN dan utusan pemerintah pusat, Umar Sudan serta Bete Sumar.

Hasil perundingan menetapkan garis demarkasi di wilayah Kuok, membagi zona penguasaan sementara antara Indonesia dan Belanda, serta menegaskan beberapa wilayah tetap berada di bawah Republik Indonesia.

Warisan Sejarah

Peristiwa heroik rakyat Kampar di Kuok ini menjadi bukti nyata pengorbanan besar dalam mempertahankan kemerdekaan. Meski harus kehilangan rumah, pasar, dan harta benda, semangat juang rakyat tetap berkobar. Mereka memilih berkorban daripada kembali dijajah.

Sejarawan dan tokoh masyarakat Kampar berharap, isi perjanjian Kuok yang disaksikan KTN dapat dijadikan bahan pendidikan sejarah, serta diabadikan melalui monumen perjuangan. Dengan demikian, generasi muda dapat terus meneladani optimisme dan semangat juang para pendahulu dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.

(Memori, 14 Agustus 1993. Syahrial Darwis/Safrizal)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index