SELATPANJANG– Penggundulan hutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, kembali menuai sorotan tajam. Pakar lingkungan Dr. Elviriadi, yang juga pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, turun langsung meninjau kawasan yang disebut mengalami kerusakan parah di Desa Kampung Balak, Mengkikip, dan Kundur, Selasa (11/6/2025).
Tiba di Selatpanjang dalam rangkaian safari ekologisnya, Dr. Elviriadi langsung meluncur ke lokasi hutan yang dilaporkan telah gundul. Ia mengaku prihatin dengan kondisi di kampung halamannya tersebut.
“Ini bukan deforestasi biasa. Ini darurat ekologis. Ribuan hektare hutan gambut licin tak bersisa. Kanal-kanal buatan memperparah kerusakan,” ungkapnya.
Keterlibatan Oknum
Menurut Dr. Elviriadi, pembalakan liar di Meranti dilakukan secara sistematis. Ia menyebut ada dugaan keterlibatan cukong dan oknum aparat yang bekerja sama menggunakan alat berat.
“Modusnya jelas. Ada cukong dari luar dan dalam yang merekrut warga lokal untuk menebang hutan. Ini tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan atau pembiaran dari oknum,” katanya.
Ia memperkirakan kerusakan tersebut terjadi antara 2021 hingga 2023. Dalam investigasinya, ia menemukan indikasi adanya surat-surat administrasi yang dikeluarkan secara tidak sah oleh pejabat daerah.
“Saya dengar ada surat-surat aneh dari birokrat kolutif. Harus diselidiki. Ini kerusakan terstruktur,” tegasnya.
Dr. Elviriadi berkomitmen membawa masalah ini ke ranah hukum dan meminta perhatian serius dari Kapolda Riau.
“Saya akan bawa Kapolda Riau turun langsung ke lokasi. Kita butuh ketegasan. Ini soal masa depan Meranti. Kalau dibiarkan, pulau-pulau seperti Rangsang dan Padang bisa tenggelam karena turunnya tanah gambut dan masuknya air laut,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak sosial dari pembalakan liar, termasuk banjir rutin di desa-desa yang dulu dikelilingi hutan.
Penggundulan hutan tanpa izin jelas melanggar sejumlah regulasi nasional, antara lain:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga 15 tahun dan denda Rp10 miliar bagi pelaku pembalakan liar.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan pemulihan dan perlindungan lingkungan secara berkelanjutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang secara tegas melarang pengeringan dan konversi lahan gambut tanpa izin.
Jangan Tunggu Bencana
Sebagai penutup, Dr. Elviriadi memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan yang dibiarkan akan membawa konsekuensi besar.
“Jika hari ini kita diam, besok kita yang akan tenggelam. Ini bukan soal aktivisme, ini soal keberlangsungan hidup,” tandasnya.
Ia menyerukan kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan penegak hukum untuk menghentikan perusakan alam di Kepulauan Meranti. (hr)