Proyek Rapid Test Diduga Tidak Sesuai Ketentuan, Hakim Menangkan PT Bismacindo: Mahasiswa Desak Komisi Yudisial Bertindak

Selasa, 17 Juni 2025 | 14:17:35 WIB
Ketua Umum IPMAKUSI Pekanbaru, Zulfajri, S.IP

Kuantan Singingi – Aroma kejanggalan tercium kuat dari kasus sengketa proyek pengadaan rapid test COVID-19 tahun 2020 yang kini memaksa Pemerintah Kabupaten Kuansing membayar Rp23,4 miliar kepada PT Bismacindo Perkasa. Padahal proyek tersebut diduga tidak pernah tercantum dalam dokumen resmi penganggaran daerah.

Ketua Umum IPMAKUSI Pekanbaru, Zulfajri, S.IP, menyebut pihaknya tengah menyiapkan laporan resmi ke Komisi Yudisial. “Kami anggap ini bukan lagi soal kalah menang, tapi soal bagaimana mungkin kegiatan ilegal bisa dilegalkan lewat putusan hukum. Hakim-hakim yang memutus perkara ini harus diperiksa oleh KY,” tegasnya, Selasa (17/6/2025).

Proyek ini dimulai saat Helmi Ruspandi, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kuansing di era Bupati Mursini, melakukan pengadaan rapid test dengan nilai kontrak fantastis Rp15,2 miliar. Namun temuan media dan sumber internal menyebut kegiatan ini tak tercatat dalam KUA-PPAS, RKPD, maupun APBD 2020. Bahkan dokumen kontrak dan bukti pengiriman barang disebut-sebut tidak pernah dilaporkan ke DPRD.

Dalam proses hukum, PT Bismacindo Perkasa menggugat Pemkab Kuansing pada Agustus 2022 dan memenangkan seluruh tahapan: mulai dari PN Teluk Kuantan, PT Riau, Mahkamah Agung (kasasi), hingga Peninjauan Kembali (PK). Gugatan didaftarkan atas nama Bupati Kuansing cq. Kepala Dinas Kesehatan.

Hasil akhirnya: Pemkab Kuansing dihukum membayar Rp23,4 miliar—kerugian materiil dan denda. Namun, eksekusi pembacaan putusan yang dilakukan Senin (16/6/2025) di lobi Kantor Bupati justru memicu gelombang penolakan dari berbagai pihak.

Bupati Kuansing Suhardiman Amby menyatakan tegas bahwa kewajiban membayar tidak mungkin dilakukan. “Proyek ini tidak ada dasar hukumnya. Tidak tercatat di APBD, apalagi dalam realisasi keuangan. Ini tanggung jawab masa lalu, bukan pemerintah hari ini,” kata Suhardiman.

Ia juga menegaskan bahwa membayar tagihan proyek fiktif justru akan menyeret pemerintahannya ke dalam pelanggaran hukum. “Itu sama saja dengan melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan prinsip penganggaran berbasis legalitas.”

Sementara itu, pengamat politik Kuansing, Bung Darwis, yang juga mantan anggota DPRD, mempertanyakan bagaimana perkara seperti ini bisa dimenangkan di semua tingkatan pengadilan. “Ini aneh. Tidak masuk dalam dokumen resmi, tidak pernah dibahas DPRD, harga juga diduga di-mark-up. Tapi malah Pemkab disuruh bayar. Ini bisa jadi preseden buruk,” kata Darwis.

Darwis mengaku khawatir jika pengadilan dapat dipakai untuk memaksakan pembebanan keuangan negara atas kegiatan ilegal. Ia mendesak DPRD Kuansing turun tangan menyelidiki dasar dokumen proyek tersebut.

Mahasiswa Bergerak

IPMAKUSI menyatakan tengah menyusun laporan tertulis ke Komisi Yudisial untuk menilai etika dan integritas hakim dalam perkara ini. Zulfajri mengacu pada Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2011, yang memungkinkan masyarakat untuk mengajukan aduan ke KY atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

“Kami tidak akan diam. Dalam waktu dekat, IPMAKUSI akan menyerahkan laporan resmi ke KY, karena ini menyangkut keadilan dan masa depan tata kelola anggaran daerah,” tegasnya.

Kasus ini menunjukkan bahwa tak semua yang diputus “benar secara hukum” bisa dibenarkan secara moral dan administratif. Ketika proyek tanpa dasar anggaran bisa lolos dalam sistem peradilan, publik patut bertanya: siapa yang sesungguhnya sedang bermain?

(rls)

Halaman :

Terkini