Fenomena Korupsi di Kalangan Terpelajar Bergelar Akademik

Fenomena Korupsi di Kalangan Terpelajar Bergelar Akademik
Nama Pudir Poltek Ketapang Terseret Dugaan Proyek Rp7,6 Miliar

KETAPANG – Fenomena korupsi yang melibatkan kalangan terpelajar kembali mencuat. Kali ini, nama dua Pembantu Direktur (Pudir) di Politeknik Negeri Ketapang (Poltek Ketapang), yakni Yusuf dan Erick Radwitya, disebut-sebut sebagai pihak yang diduga mengatur pelaksanaan proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024 senilai Rp7,6 miliar di lingkungan kampus tersebut.

Informasi ini ramai diperbincangkan menyusul pemeriksaan yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat terhadap Direktur Poltek, Irianto; Ketua Pengawas Internal, Betti Ses Eka Polonia; dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Suratmin.

Yusuf merupakan Pudir II yang membawahi bidang umum, keuangan, dan perencanaan, sementara Erick menjabat sebagai Pudir III yang membidangi kemahasiswaan. Keduanya disebut-sebut sebagai aktor intelektual yang menyusun skenario penunjukan pelaksana proyek dan vendor tenaga kontrak (outsourcing) di kampus.

“Pudir 2 dan 3 perlu juga dimintai keterangan oleh jaksa. Mereka ini yang paham dari awal proses proyek di lingkungan Poltek,” ungkap sumber media ini.

Salah satu pelaksana proyek mengungkapkan bahwa perusahaannya hanya ‘dipinjam’ oleh oknum dosen untuk mengerjakan proyek kampus. “Dipakai bang, yang penting tanda tangan. Yang kerja dosennya,” ujar kontraktor dari salah satu CV pelaksana, Rabu (14/05/2025).

Sumber lain menambahkan, ada pengaruh kelompok tertentu di kampus, yang dikomandoi oleh Pudir II dan dibantu oleh Pudir III yang kebetulan memiliki latar belakang sebagai kontraktor. Meski PPK resmi adalah Suratmin, namun keputusan teknis diklaim dikendalikan oleh Pudir II dan III.

Dikonfirmasi terpisah, Suratmin membenarkan bahwa dirinya memang menjadi PPK karena satu-satunya pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa. Namun, ia menyatakan perannya hanya administratif dan tidak mengetahui seluruh detail kegiatan proyek. Ia bahkan sempat cuti karena menunaikan ibadah haji pada 2024.

Yusuf, dalam keterangannya, membantah semua tudingan. Ia menegaskan bahwa perannya hanya sebatas menyusun rencana anggaran dan menyampaikan ke kementerian. Soal pelaksanaan proyek, menurutnya, ditentukan dalam rapat antara direktur dan PPK.

“Informasi yang menyebar itu sepenuhnya tidak benar. Saya hanya menyampaikan nama-nama calon pelaksana dan jenis kegiatan. Keputusannya ada di direktur dan PPK,” kata Yusuf.

Terkait tudingan tenaga outsourcing yang tidak dibayar, Yusuf mengklarifikasi bahwa pembayaran dilakukan oleh vendor dan keterlambatan hanya karena hari libur.

Fenomena akademisi yang terseret kasus korupsi bukan hal baru. Sebelumnya, Rektor Universitas Lampung, Prof. Dr. Karomani, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri tahun 2022. Ia diduga menerima suap hingga miliaran rupiah dari orang tua calon mahasiswa.

Di Yogyakarta, mantan Dekan Fakultas Teknik UPN Veteran, Dr. Arifin, juga sempat disidangkan karena kasus korupsi pengadaan alat laboratorium yang merugikan negara lebih dari Rp1,2 miliar. Ia terbukti merekayasa tender dan menunjuk pemenang proyek secara sepihak.

Kembali pada kasus Poltek Ketapang, masyarakat berharap agar Kejati Kalbar mendalami dugaan keterlibatan para Pudir yang memiliki jabatan strategis. Proyek sebesar Rp7,6 miliar, meski tampak tersebar dalam paket kecil, tetap rawan disalahgunakan bila mekanismenya tidak transparan.

“Orang-orang terdidik yang mestinya jadi teladan, justru sering terlibat pengaturan proyek. Harus ada tindakan tegas agar tidak menjadi budaya,” ujar seorang pemerhati pendidikan di Ketapang.

Hingga berita ini diturunkan, Kejati Kalbar belum mengonfirmasi apakah Yusuf dan Erick Radwitya akan turut diperiksa dalam tahap selanjutnya. (*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index