Crash Out: Kelelahan Emosional Kolektif di Era Digital

Senin, 11 Agustus 2025 | 23:47:09 WIB
Andri Saputra Lubis, M.Psi

Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
_________

BELAKANGAN ini, rasa letih yang menyelimuti banyak lapisan masyarakat dunia terasa kian pekat. Bukan sekadar kelelahan karena pekerjaan atau tekanan rutinitas, melainkan kejenuhan mendalam yang merambah lintas negara, budaya, hingga kelas sosial. 

Kondisi ini, yang dalam istilah populer disebut “Crash Out”, hampir selaras dengan konsep Collective Emotional Fatigue atau kejenuhan emosional kolektif dalam kajian psikologi, yaitu keadaan di mana cadangan energi emosional bersama terkuras habis.

Dampaknya, masyarakat menjadi enggan berinteraksi, empati menipis, dan partisipasi dalam kehidupan sosial menurun drastis. Berbeda dengan “burnout” yang biasanya terikat pada beban atau tekanan di satu ranah tertentu, Crash Out muncul dari akumulasi tekanan berlapis: banjir berita negatif tanpa henti, ketidakpastian ekonomi, gesekan politik, ancaman krisis iklim, hingga arus media sosial yang terus menguras emosi tanpa memberi kesempatan untuk pulih.

Dalam perspektif psikologi kontemporer, Collective Emotional Fatigue dianggap sebagai bagian dari trauma kolektif, yaitu kondisi ketika suatu komunitas atau populasi luas mengalami tekanan emosional bersama akibat rangkaian peristiwa besar atau stres sosial yang berlangsung terus-menerus. Situasi ini semakin berat ketika terjadi emotional contagion, yakni penularan emosi dari satu orang ke orang lain, baik melalui interaksi langsung maupun paparan berulang di media.

Saat rasa letih, cemas, atau pesimis terus dibagikan dan diperkuat di ruang publik, terlebih di platform digital yang aktif tanpa jeda, kejenuhan emosional pun menyebar layaknya infeksi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu learned helplessness, yaitu keadaan di mana masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi, mereka telah belajar dari pengalaman berulang bahwa apa pun yang mereka lakukan tidak akan mengubah hasil, sehingga memutuskan untuk menarik diri dari keterlibatan sosial.

Perspektif psikologi Islam memandang fenomena serupa melalui istilah futur, yakni menurunnya semangat spiritual, yang bila dibiarkan, bisa berujung pada qaswat al-qalb atau hati yang mengeras. Kondisi ini sering dipicu oleh ghaflah, kelalaian dari tujuan hidup yang hakiki, serta pengaruh syubhat dan syahwat yang diperkuat oleh derasnya arus informasi digital tanpa filter. Kurangnya ruang untuk tadabbur dan tafakkur membuat hati menjadi kering, sementara lingkungan sosial yang dipenuhi pesimisme menularkan rasa jenuh secara masif. Dalam tradisi Islam, kejenuhan emosional bukan hanya gangguan psikis, tetapi juga sinyal melemahnya koneksi spiritual antara manusia dan Tuhannya.

Konsekuensi Crash Out bukanlah hal sepele. Ia bisa menurunkan partisipasi masyarakat, mengikis kepekaan terhadap permasalahan dan penderitaan orang lain, bahkan melemahkan rasa kebersamaan. Bila dibiarkan berlarut, fenomena ini dapat menjadi hambatan serius dalam proses pemulihan sosial setelah krisis besar dan mengancam ketahanan kolektif suatu komunitas atau bangsa.

Mengatasi Crash Out memerlukan pendekatan yang memadukan kekuatan sains modern dan nilai-nilai Islam. Secara psikologis, membatasi paparan berita negatif melalui content diet terbukti membantu memulihkan kestabilan mental. Dalam Islam, prinsip ini sejalan dengan konsep tahdzib al-bashar, menjaga pandangan dari hal-hal yang merusak hati, serta tahdzib al-lisan, menjaga ucapan agar tidak menambah beban mental orang lain. 

Memaknai ulang aktivitas sehari-hari agar tak hanya sekadar rutinitas, tapi juga sarana untuk menebar kebaikan dan mencari ridho Allah SWT, menjadi langkah efektif untuk memulihkan semangat. Psikologi modern menekankan pentingnya dukungan sosial, sedangkan Islam meneguhkan ukhuwah dan lingkungan yang saling menguatkan.

Pemulihan juga menuntut latihan jiwa atau riyadhah al-nafs. Konsistensi dalam ibadah sederhana seperti shalat tepat waktu, dzikir, dan sedekah harian, dapat berfungsi layaknya behavioral activation, mengaktifkan perilaku positif yang memicu emosi sehat. Di sisi lain, refleksi diri dan penumbuhan optimisme dalam psikologi modern memiliki padanan dalam tafakkur dan muhasabah yang mengembalikan fokus pada makna hidup.

Crash Out adalah peringatan bahwa yang kelelahan bukan hanya tubuh kita, melainkan kemanusiaan kita sendiri di tengah dunia yang tak pernah sunyi. Psikologi modern membantu memahami mekanismenya, sementara psikologi Islam menawarkan arah untuk mengembalikan daya hidup batin. Ketenangan bukan datang dari menunggu dunia menjadi tenang, tetapi dari kesadaran untuk menjaga hati tetap teguh di tengah hiruk-pikuknya.

Fenomena Crash Out pada dasarnya menjadi potret yang menegaskan bahwa daya tahan emosional dan spiritual manusia memiliki batas. Dalam kehidupan modern, banyak orang terseret dalam arus deras informasi, ambisi, dan tekanan sosial yang perlahan menguras kekuatan batin, hingga lalai menyediakan waktu untuk memulihkan diri. 

Kesadaran ini mengingatkan bahwa kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dari kebersihan hati; keduanya saling menopang dan memperkuat. Apabila kita ingin membentuk masyarakat yang mampu bertahan menghadapi berbagai ujian, maka setiap individu perlu memiliki kemampuan untuk bangkit Kembali, dengan memanfaatkan pemahaman psikologi modern yang berbasis sains sekaligus bimbingan nilai-nilai Islam yang menuntun hati tetap bening. 

Dunia mungkin akan terus riuh, namun kita selalu memiliki kendali untuk menumbuhkan ketenangan di dalam jiwa.

_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.

Terkini