Heboh Sertifikat Sawit di Kawasan TNTN, Pakar Lingkungan Desak Oknum BPN Diproses Hukum

Heboh Sertifikat Sawit di Kawasan TNTN, Pakar Lingkungan Desak Oknum BPN Diproses Hukum
Elviriadi

Pekanbaru – Kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kembali jadi sorotan publik setelah Satgas Penanganan Konflik Harimau (PKH) turun ke lokasi dan menumbangkan pohon-pohon sawit ilegal. 

Namun yang membuat geger, di dalam kawasan hutan yang ditetapkan sebagai habitat satwa dilindungi seperti gajah dan harimau Sumatera, ditemukan dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM).

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, menegaskan akan mencabut SHM yang berada di dalam kawasan TNTN karena terbukti berada di hutan konservasi.

"Kami akan mencabut sertifikat-sertifikat sawit yang terbit di dalam kawasan hutan konservasi. Itu tidak sah dan melanggar hukum," kata Nusron.

Pernyataan ini langsung memantik reaksi keras dari pakar lingkungan hidup UIN Suska Riau, Dr Elviriadi, yang menilai penerbitan SHM dalam kawasan konservasi sebagai skandal hukum.

 “Aaaaach gawat itu! BPN sudah punya data spasial bahwa itu kawasan konservasi TNTN. Kok bisa-bisanya diterbitkan SHM? Ini pelanggaran serius," tegas Elviriadi, Senin (7/7/2025).

Aktivis lingkungan yang juga Ketua Departemen Restorasi Gambut dan Mangrove Majelis Nasional KAHMI itu mendesak Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau untuk segera menyelidiki dan memproses oknum BPN yang terlibat.

 “Sudah jelas ada mens rea — niat jahat yang sistematis dan terstruktur. Harus diproses hukum, segera lakukan penyelidikan dan tangkap sebagai efek jera,” ucap Elviriadi yang juga dikenal sebagai aktivis reformasi 98.

Lebih jauh, ia menyebut banyak kantor pertanahan di kabupaten hingga tingkat Kanwil BPN Riau kerap terlibat skandal dan praktik memalukan.

 “Kasus terakhir, Kepala Kanwil BPN Riau kena OTT karena suap HGU di Kuansing. Ini bukti sistem di tubuh BPN harus dibenahi. Tim B HGU juga sangat tertutup dan rawan disusupi kepentingan," tegasnya.

Elviriadi juga menegaskan, tindakan penerbitan SHM di dalam kawasan hutan konservasi bertentangan dengan berbagai peraturan hukum yang berlaku:

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50 ayat (3) huruf a dan b: Setiap orang dilarang merambah atau memanfaatkan kawasan hutan tanpa izin.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), pasal 17 dan 18: Mengatur pidana terhadap perusakan hutan termasuk yang dilakukan secara korporasi maupun oleh pejabat.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009, pasal 69 ayat (1): Melarang kegiatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

Ancaman pidana dari pelanggaran ini mencapai 3 hingga 10 tahun penjara serta denda hingga Rp10 miliar.

 "Pejabat itu mestinya jadi pelindung lingkungan. Ini malah jadi 'pagar makan tanaman'. Saya tak akan tinggal diam. Jaringan kami sedang menggalang aksi dan tekanan publik. Ini penghinaan terhadap hukum dan ekologi,” tutup Elviriadi, yang dikenal karena komitmennya pada pelestarian gambut di Riau. (*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index