Kafalah: Menjamin Ekonomi yang Adil dan Beradab

Kafalah: Menjamin Ekonomi yang Adil dan Beradab

Oleh: Kevin Mahardika Mahasiswa STMIK Tazkia, Bogor

Dalam dunia bisnis modern yang serba cepat dan kompetitif, kepercayaan menjadi barang mahal. Tidak semua orang punya modal, dan tak semua pihak mudah dipercaya. Di sinilah peran sistem penjaminan menjadi sangat penting—baik dalam hubungan bisnis, keuangan, maupun hukum.

Namun, jauh sebelum lembaga penjamin kredit modern muncul, Islam sudah mengenalkan konsep kafalah: sebuah akad penjaminan yang dibangun atas dasar tanggung jawab dan solidaritas sosial. Kafalah bukan sekadar bentuk kontrak hukum, tapi juga cerminan dari nilai-nilai spiritual yang melandasi muamalah dalam Islam.

Kafalah dalam istilah fikih berarti menanggung. Artinya, seseorang (penjamin) secara sukarela menyatakan kesediaannya untuk menanggung kewajiban pihak lain. Bila pihak yang dijamin gagal menunaikan kewajibannya, maka penjaminlah yang memikulnya. Dalam bahasa perbankan hari ini, konsep ini serupa dengan bank garansi atau penjamin kredit.

Model ini mendapat legitimasi dari teks-teks suci. Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf menyinggung soal jaminan sebagai bukti keseriusan. Hadis Nabi Muhammad SAW juga secara tegas menyebutkan bahwa, “Tangan penjamin bertanggung jawab atas jaminannya.” Ini adalah bentuk tanggung jawab yang tak main-main.

Ketika Kafalah Menyapa Dunia Modern

Dulu, kafalah dilakukan secara pribadi antarindividu. Kini, ia bermetamorfosis dalam institusi. Di perbankan syariah, kafalah hadir sebagai bank guarantee. Di sektor UMKM, lembaga seperti Jamkrindo Syariah memberi ruang usaha kecil untuk tetap bergerak meski tanpa agunan. Bahkan dalam ekosistem digital seperti fintech, kafalah mulai menjelma dalam bentuk sistem escrow atau perlindungan transaksi daring.

Model ini menghadirkan keamanan dan kepercayaan. Bisnis tidak lagi sekadar soal untung rugi, tapi juga tentang komitmen dan rasa tanggung jawab antarpihak.

Tumbuh di Atas Prinsip Etika

Namun, seperti sistem lainnya, kafalah juga rentan disalahgunakan. Dalam beberapa kasus, praktik penjaminan justru dijadikan celah untuk menarik keuntungan dengan cara yang tak sesuai prinsip syariah—misalnya melalui bunga tersembunyi atau biaya yang mencekik.

Di sinilah pentingnya regulasi dan edukasi. Kafalah hanya akan menjadi pilar ekonomi yang adil jika dijalankan dengan benar. Biaya administrasi boleh saja dikenakan, tetapi harus bersifat transparan dan proporsional, bukan untuk mengejar laba semata.

Ekonomi Tak Hanya Soal Uang

Islam mengajarkan bahwa ekonomi bukan hanya urusan angka dan laba, tetapi juga soal amanah dan tanggung jawab sosial. Kafalah hadir bukan semata untuk “menambal risiko”, melainkan mempererat hubungan sosial melalui kepercayaan dan komitmen.

Dalam konteks Indonesia yang sedang giat mendorong inklusi keuangan syariah, kafalah adalah instrumen yang strategis. Ia bisa menjadi jembatan bagi para pelaku usaha kecil untuk mendapatkan akses pembiayaan. Lebih dari itu, ia bisa membangun kultur ekonomi yang lebih etis dan manusiawi.

Kafalah bukan sekadar dokumen hukum atau akad formalitas. Ia adalah simbol dari semangat Islam dalam menumbuhkan ekonomi yang bertanggung jawab. Di tengah dunia yang makin transaksional, kafalah mengingatkan kita bahwa dalam setiap akad ada amanah, dan di balik setiap jaminan ada nilai-nilai luhur yang tak boleh kita abaikan. (*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index