PEKANBARU – Pengamat hukum Riau, H. Aspandiar, SH, menilai bahwa aktor utama dalam perusakan hutan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) justru berada pada pihak pembeli lahan, bukan penjual.
Menurutnya, dalam banyak kasus, penjual lahan—terutama masyarakat adat atau pemilik ulayat—sering tidak mengetahui bahwa wilayah yang dijual sudah termasuk dalam kawasan konservasi, karena status hutan lindung kerap berubah atau diperluas secara administratif.
“Banyak masyarakat tidak menyadari perubahan status lahan mereka. Tapi pembeli yang kemudian membuka lahan dan menanaminya jelas punya peran langsung dalam perusakan,” kata Aspandiar.
Senada, pengacara Aziun Hasyari, SH, MH, merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban lahan hutan. Ia menegaskan bahwa Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk berdasarkan Perpres tersebut secara spesifik menangani perusakan hutan yang dilakukan oleh pembuka lahan, bukan oleh pihak penjual.
“Tak bisa pembeli berdalih tidak tahu. Sama seperti orang yang beli ponsel, lalu digunakan untuk tindakan kriminal—yang diproses tentu pelaku, bukan penjualnya,” ujar Aziun dalam keterangannya, Salas (1/7/2025) petang.
Aspandiar menambahkan, berdasarkan prinsip hukum nasional, setiap orang dianggap mengetahui hukum setelah peraturan itu berlaku dan diundangkan secara resmi. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi pembeli untuk berkelit.
“Begitu undang-undang dikodifikasikan dan terpublikasi, maka secara hukum dianggap diketahui oleh seluruh masyarakat. Itu dasar prinsip ‘fictie hukum’ dalam sistem hukum kita,” tutup Aspandiar. (rls)